8. Konsep tentang Kepemimpinan dan Bernegara
“Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Artinya: Seorang pemimpin itu harus bisa berada di depan sebagai suri tauladan, harus bisa berada di tengah untuk senantiasa membaur dengan rakyatnya dan sebagai pengayom, dan harus bisa berada di belakang sebagai motivator demi kemajuan yang dipimpinnya.
“Lamun ono penguasane asale soko wong olo, iku ora luwes bakal konangan alane. Sebab kabeh mau wis kewoco soko tumindhake panguasa mau”. Artinya: Jikalau ada penguasa yang tidak berasal dari orang yang baik, tiada lama pastinya akan ketahuan jeleknya. Sebab akan tampak dari tindakan si penguasa itu.
“Janma iku tan keno kiniro kinoyo ngopo. Mula ojo siro seneng ngaku lan rumongso pinter dhewe”. Artinya: Sifat manusia itu walau bagaimanapun tidak bisa diterka dan diduga-duga. Oleh karena itu janganlah engkau suka mengaku dan merasa paling pandai.
“Ratu iku durung mesthi kepenak uripe, lamun ora biso ngaweruhi kawulane”. Artinya: Penguasa itu belum tentu enak hidupnya, bila tak mengetahui aspirasi rakyatnya.
“Ratu kang mung seneng uripe margo akeh bandane, ing tembe matine ora kajen. Mulo dadi ratu ojo sawiyah-wiyah marang kawulane”. Artinya: Penguasa yang enak hidupnya hanya karena banyak harta benda kelak matinya tak akan terhormat. Oleh sebab itu jangan kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
“Ratu kang murang sarak iku ojo diajeni, jalaran ratu kang koyo mengkono iku gawe rusaking negoro”. Artinya: Penguasa yang kejam dan serakah jangan dihormati, sebab penguasa yang seperti itu akan merusak negara.
“Ratu iku kudu gawe tentrem poro kawulane, mergo yen ora mengkono biso dadi kawulane ngrebut negoro”. Artinya: Penguasa itu harus bisa membuat tenteram rakyanya, karena jika tidak rakyatnya akan merebut kekuasaan dalam negara itu.
“Pathokaning negoro iku dumunung ono angger-anggering negoro”. Artinya: Tiang sebuah negara itu terletak pada undang-undang negara.
“Dhasaring negoro iku ono limo, kapisan paserah anane negara iki marang kang Murbeng Dumadi. Kapindo percoyo marang anane manungso iku soko kang Murbeng Dumadi. Kaping telu ojo siro ngilwatake bongso niro pribadi. Kaping papat siro ojo mung kepingin menang dhewe, mulo perlu rerembungan amrih becike. Kaping limo kewajiban aweh sandhang kalawan pangan lan uga njogo katentraman lahir kalawan batin”. Artinya: Dasar sebuah negara itu ada lima. Pertama, pasrah adanya negara kepada Tuhan. Kedua, percaya bahwa manusia itu adanya dari Tuhan. Ketiga, jangan mengabaikan bangsamu sendiri. Keempat, engkau jangan ingin menang sendiri, karena itu harus suka bermusyawarah bagaimana baiknya. Kelima, berkewajiban memberi sandang dan papan serta ketenteraman lahir batin.
“Bongso iku minangka sarana kuwating negoro. Mulo ojo ngiwarake kebangsaniro pribadi. Supoyo kenugerahan bongso kang handana warih”. Artinya: Bangsa itu sebagai sarana kuatnya negara. Oleh karena itu janganlah mengabaikan rasa kebangsaanmu sendiri, agar memiliki bangsa yang berjiwa kesatria.
“Poro mudo ojo ngungkurake kawruh kang nyoto, amrih karya ungguling bongso lan biso gawe rahayuning sesama”. Artinya: Para pemuda jangan mengabaikan ilmu pengetahuan yang nyata, agar negaranya menjadi makmur dan dapat membuat keselamatan sesamanya.
Sungguh, dengan memahami setiap makna dari falsafah di atas, maka terlihat jelas bahwa orang Jawa masa lampau memiliki budaya yang sangat tinggi. Dan ini baru segelintirnya saja, karena masih banyak lagi yang lain namun tidak bisa disampaikan disini. Sehingga tidak salah bila dikatakan melebihi peradaban bangsa-bangsa lain di dunia.
Sebuah kebanggaan yang tak terkira, karena leluhur kita telah mewariskan sesuatu yang sangat berharga. Tapi, sangat disayangkan bahwa saat ini banyak dari kita – termasuk orang etnis Jawa – yang sudah tidak lagi memahami falsafah ini. Bahkan tinggal sedikit saja yang masih mengenal dan mau mengenalinya. Sehingga tidak usah heran bila keadaan negara ini pun terkena dampak buruknya. Makin lama maka kian carut marut saja tatanan kehidupannya, karena para pemimpinnya sendiri – khususnya orang Jawa – sudah tidak mau lagi menjadikan falsafah Jawa ini sebagai pedoman hidup. Sehingga yang tertinggal hanyalah “Akeh wong jowo, ning ora jowo : Banyak orang Jawa, tapi tidak jowo (benar)“
Semoga dengan adanya tulisan ini semakin menyadarkan kehidupan kita, bahwa di dalam diri kita ini – khususnya warisan leluhur – telah memiliki kemampuan yang besar dan tidak akan kalah dengan bangsa lainnya di dunia. Agar kian bertambah cinta pada warisan leluhur dan terus percaya diri demi kemajuan negara.
Referensi :
– Falsafah hidup orang Jawa, Asep Rachmatullah, Logung Pustaka, 2010
– Kata-kata super : Motivasi bijak leluhur Jawa, Umi Kuntari, SS, Eule Book, 2010
– Mashudi Antoro (Oedi’)
– http://www.kaskus.co.id