
Perilaku ‘trolling’ terhadap orang lain adalah hal yang biasa kita jumpai secara online. Memang, perilaku ini telah menjadi fenomena sangat umum sehingga sekarang dipelajari secara intensif oleh para psikolog. Psikolog menyebut perilaku ini sebagai ‘efek disinhibisi online’. Tapi apa yang membuat orang bisa berperilaku seperti ini?
Saya tergerak menulis artikel ini karena pernah menjumpai sebuah meme. Disitu digambarkan bahwa internet di Indonesia termasuk yang paling cepat di dunia, tapi dalam kategori membuat emosi! Iya, itu memang benar. Cobalah lihat di sosial media belakangan ini, betapa ramainya jika ada berita yang sedang viral, disitu pasti muncul para troll. Entah itu menyangkut perbedaan politik, agama, gosip artis, maupun isu-isu sosial yang kerap memunculkan tagar-tagar baru, yang kemudian viral dan mengundang reaksi netizen.
Pada dasarnya troll internet, khususnya media sosial adalah seseorang yang dengan sengaja mengatakan sesuatu yang ‘tidak enak dibaca’, sehingga menyulut reaksi dari pengguna lain. Jadi, trolling dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang menciptakan perselisihan di Internet dengan memulai pertengkaran atau membuat orang lain kesal dengan memposting komentar atau topik yang cenderung ngawur di komunitas online. Kata-kata makian, umpatan, sampai nama-nama hewan biasa dilontarkan troller ini untuk menghujat korbannya, tak peduli si pemosting atau orang yang berkomentar. Disinilah awal mula adanya sebutan ‘Netizen Maha Benar‘ .
Adalah John Suler, Profesor Psikologi dari Rider University, mencoba menganalisis penyebabnya. Melalui risetnya yang dipublikasikan di jurnal Cyberpsychology & Behavior, Suler mendefinisikan fenomena yang disebut sebagai Efek Disinhibisi Online (online disinhibition effect).
Apa Itu Efek Disinhibisi Online (Online Disinhibition Effect)?
Disinhibisi secara harfiah merupakan kelakuan yang tidak sesuai budaya dan norma-norma sosial yang berlaku karena terganggunya atau hilangnya fungsi pengendalian diri. Perilakunya cenderung menjadi kurang sopan, kurang terpuji, memalukan dan sebagainya.
Efek disinhibisi online adalah tidak adanya batasan saat seseorang berkomunikasi di dunia cyber, terutama jika dibandingkan dengan komunikasi langsung secara bertatap muka. Hal ini membentuk persepsi bahwa orang tersebut tidak memiliki konsekuensi atas ucapannya di dunia maya, sehingga bebas berkata apa saja. Jadi, itulah mengapa seseorang jadi kelihatan lebih berani berkomentar apa pun ketimbang bertemu orangnya secara langsung. Menurut Suler, berikut enam faktor mendasar yang menyebabkan seseorang menjadi ‘Maha Benar’ di internet.
1. Disosiatif anonimitas
Disosiatif anonimitas dan efek disinhibisi online berasal dari perasaan yang dihasilkan dari kemampuan seseorang untuk menjadi akun ‘anonim’. Di internet, seseorang bebas membuat dan menggunakan akun anonim yang berlainan dengan identitas aslinya di dunia nyata. Jadi, perasaan inilah yang menyebabkan seseorang merasa ‘tak memiliki penghalang’ di dunia maya.
Mereka mungkin tahu apa yang mereka ungkapkan atau lakukan di internet tidak akan berpengaruh besar dalam kehidupan nyata mereka. Mereka berpikir tidak mungkin seseorang bisa melacak keberadaan mereka. Jadi, orang bisa berlaku menyimpang, kasar, dan rasis dalam memposting sesuatu. Faktanya, para troll ini akan mengatakan semua hal yang tidak pantas dikatakan secara sosial yang dapat mereka pikirkan karena kurangnya konsekuensi dan kendali diri.
2. Invisibel (tak terlihat)
Komunikasi di internet sebagian besar menggunakan teks dan foto profil saja, sehingga pengguna internet tidak perlu menampilkan keseluruhan fisik atau wajahnya. Efek anonimitas disosiatif ditekankan oleh perasaan tak terlihat secara online. Pasti kita semua pernah sesekali ingin kepo akun seseorang tanpa diketahui yang bersangkutan. Entah melihat akun orang yang ditaksir, atau melihat apa saja yang telah diposting seseorang. Perasaan tanpa diketahui inilah yang memungkinkan kita melakukan ini.
Tingkat kepercayaan diri seseorang dapat meningkat karena tidak perlu memperhatikan aspek suara, kefasihan, intonasi, dan bahasa tubuh. Pengguna internet juga dapat bermain peran, dengan mengklaim identitas orang lain, memiliki kepribadian yang berbeda, atau mengaku berjenis kelamin lain.
Efek invisibilitas dalam mengurangi beban sebenarnya telah lama dikenal dalam Psikologi. Memang, psikoanalis umumnya menggunakan teknik ini sehingga pasien tidak dapat melihat bahasa tubuh dan ekspresi wajah mereka. Dengan melakukan cara ini, pasien merasa lebih bebas untuk mengatakan apa yang mereka rasakan.
3. Asinkronisitas (ketidaksinkronan)
Di dunia internet tidak selalu bersifat real time, kecuali seseorang sedang melakukan siaran langsung. Jadi, postingan apapun yang kita bagikan di dunia maya bisa terjadi tidak sesuai dengan waktu yang berlaku di dunia nyata saat itu. Seseorang terkadang dapat menghilang begitu saja setelah menuliskan opininya kapan saja, atau bahkan menghapus akun pribadinya.
Seperti misalnya, seseorang setelah membuat sebuah postingan yang agak kontroversial, bisa saja dia sewaktu-waktu log out dari akunnya untuk menghindari komentar buruk atau perdebatan di postingannya. Lain waktu, dia menyiapkan mentalnya terlebih dahulu sebelum menanggapi postingan yang dia bagikan.
Ketidaksinkronan waktu ini juga membuat seseorang merasa lebih tidak tertekan dibandingkan berbicara secara langsung sekaligus bisa membentuk seseorang yang sangat berbeda di dunia maya dan dunia nyata. Di sisi lain, komunikasi tidak langsung ini juga dapat menyediakan waktu untuk mencerna dan memikirkan sesuatu yang akan disampaikan di internet.
4. Introjeksi solipsistik
Apakah kamu pernah membaca status postingan orang lain, kadang merasa tersindir, ikut sedih, atau bahkan termotivasi?
Tanpa adanya ekspresi, mimik muka, gestur, maupun bahasa tubuh lain, seorang pembaca dapat mempersepsikan tulisan seseorang dengan interpretasi yang bermacam-macam. Sebuah tulisan sederhana dapat dianggap sebagai ancaman, sindiran, pujian, sarkasme, ataupun dukungan tanpa dapat diketahui secara persis maksud asli dari penulisnya. Hal ini dapat memancing respon dan reaksi yang beragam pula. Inilah yang disebut introjeksi solipsistik, yaitu persepsi kamu tentang seperti apa orang lain, bagaimana kelihatannya, bertindak berdasarkan informasi yang kamu terima dari mereka.
5. Imajinasi disosiatif
Banyak orang menganggap bahwa dunia maya sangat berbeda dengan dunia nyata. Dalam artian, perilaku penggunanya di internet tidak memiliki konsekuensi secara nyata. Orang dengan pandangan seperti ini mempersepsikan internet hanyalah sebagai permainan saja, dimana aturan yang berlaku di dalamnya sama sekali berbeda dengan dunia nyata.
Banyak dijumpai, seseorang terkadang merasakan sakit hati hanya gara-gara di postingannya banyak dikomentari negatif, akhirnya imbasnya berpengaruh di dunia nyata, dia menjadi pemurung. Ya karena hal-hal sepele saja di internet. Para troll ini tidak tahu bagaimana kondisi psikologis seseorang setelah mengomentari negatif karena menganggap internet hanyalah permainan semata, tidak perlu terlalu serius. Padahal banyak juga orang yang menganggap serius.
Internet bahkan bisa membuat seseorang bertingkah yang normalnya tidak dia lakukan di dunia nyata. Contohnya, ada orang di kehidupan sehari-harinya pendiam, tapi tiba-tiba jadi beringas di dunia maya.
6. Status semua orang sama di dunia maya
Jika sudah berada di dunia maya, semua orang memiliki posisi yang sama, tanpa memandang profesi, otoritas, status, strata sosial-ekonomi, dan sebagainya. Tidak peduli seperti apa kehidupannya, asal punya kuota, orang bebas mengakses internet. Semua orang bebas berekspresi, menyuarakan pendapatnya masing-masing, dan menganggap apa yang disampaikannya benar.
Tidak ada validitas lebih berdasarkan kompetensi atau kredibilitas, jika seseorang tidak setuju akan sesuatu, maka akan diabaikannya begitu saja, atau bahkan membuat narasi tandingan.
Meski sekilas fenomena ini bertanggungjawab atas segala keributan di dunia maya, namun efek disinhibisi online ini juga memiliki banyak manfaat. Dengan adanya disinhibitas online, seseorang yang memiliki masalah komunikasi dapat menyampaikan perasaannya secara bebas, tanpa ada tekanan sosial. Fenomena ini juga dapat mendorong tumbuhnya rasa percaya diri serta menunjang kebebasan berpendapat, asalkan disertai kesadaran akan literasi digital serta tetap menaati norma dan etika yang berlaku sesuai panduan komunitas cyber.